September

Dimas Ajie
2 min readApr 17, 2023
Photo by The New York Public Library on Unsplash

Mestinya Surabaya tidak hujan sederas hari-hari belakangan ini di bulan September. Kamu ingat besok pagi ada ujian dan seharusnya segera sampai kos untuk belajar, tapi tidak ada pilihan selain menunggu hujan reda malam itu karena kita malas harus motoran memakai jas hujan.

Di warung dekat kampus itu kamu memesan mie kuah, sementara aku pesan nasi goreng. Sebuah kebiasaan memesan makanan yang berbeda agar kita bisa saling mencicipi milik satu sama lain, meskipun lebih sering berakhir dengan kamu menganggap makanan pilihanku entah kenapa lebih enak.

Di bawah suara hujan yang jatuh di atap warung kuning itu, kita bercerita dan tertawa sambil mengingat-ingat lagi betapa semua hal di antara kita berjalan dan berubah begitu cepat hampir tanpa kita sadari. Ternyata menjadi mahasiswa baru yang jauh dari rumah tak semudah yang dulu kita bayangkan. Namun, kita mengalihkannya dengan sering menertawakan kisah-kisah konyol teman-teman lama yang kini makin jarang bertemu, guru-guru galak yang omelan mereka kini membuatmu kangen, atau ibu kantin baik hati yang karena sudah begitu akrabnya, aku dibolehkan mengambil nasi sendiri.

Beberapa bulan yang lalu kita masih bisa makan mie pedas berdua atau motoran berkeliling kota dengan masih memakai seragam sekolah tanpa harus memikirkan besok ada kuis mendadak dari dosen. Sekarang, kita bahkan tidak bisa ngobrol berhadapan dalam waktu lama tanpa memikirkan nilai-nilai jelek dan ancaman harus mengulang mata kuliah di semester depan.

Begitu cepat waktu. Kita terdiam dalam rasa rindu yang tertahan.

Bangku-bangku di warung itu mulai sepi. Beberapa mahasiswa yang sejak tadi makan dan mengobrol sambil menunggu hujan reda di sana akhirnya memutuskan untuk pulang menerabas hujan yang tinggal sisa-sisa. Meja-meja juga mulai dibereskan dari piring dan gelas yang berserakan. Sudah jam 10 lebih waktu itu. Barangkali sebentar lagi warung akan tutup.

Dendangan dangdut koplo dari warung sebelah sayup terdengar beriringan dengan suara hujan yang mulai reda dan obrolan bapak-ibu pemilik warung di sana. Sesekali gemuruh petir terdengar di kejauhan.

Kamu memandang kosong ke sendok yang kamu pukul-pukul pelan ke piring seperti memikirkan sesuatu dan mencari cara bagaimana mengatakannya.

“Kita bisa apa enggak ya, Dim?” Kamu bergumam. Kita terdiam, tapi tak sanggup berpandangan. Tetiba semuanya jadi sunyi. Waktu mengalir dalam kegelisahan yang merambat dari suara jarum jam dinding.

Mie kuahmu belum habis, tapi setengah nasi gorengku sudah kamu makan. Hujan masih turun tipis.

Pertanyaanmu tak terjawab malam itu, tapi kita mengerti bagaimana semuanya berakhir.

--

--

Dimas Ajie

Realist-pessimist, mellow dramatic, and hopeless romantic.