Membuka Jalan Lain Perdebatan Minat Baca
--
“Oh well it’s tough to make a journey through
The right stuff is dead ahead of you and me” — Brian May, Driven By You
“Mana yang lebih penting antara minat membaca dengan kemampuan membaca?” adalah perdebatan yang melelahkan. Sama melelahkannya dengan mendengar omong kosong berisi motivasi untuk meningkatkan minat baca yang direproduksi lewat kalimat ‘rela dipenjara bersama buku’-nya Bung Hatta.
Bukan orang Indonesia namanya jika tidak mabuk kata-kata bijak sekaligus meromantisasi heroisme, namun lupa untuk memahami apa konteks dan substansinya―sebuah tabiat turun-temurun yang membawa kita pada perdebatan ini.
“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas“ — Mohammad Hatta
Dunia sudah berjalan (berlari, lebih tepatnya) begitu kencang meninggalkan peradaban kita yang masih saling melempar batu ke kepala satu sama lain untuk mencari akar persoalan mengapa minat baca kita dari berpuluh tahun lalu masih juga merangkak, jika tidak boleh dikatakan mengesot.
Mencari rumusan solusi terkait parahnya minat baca kita tidak semudah menyodorkan setumpuk buku di depan muka para dedengkot pemalas membaca itu. Toh, kalau setumpuk buku itu akhirnya dapat membuat orang-orang menjadi minat untuk membaca, persoalan lain muncul. Apakah mereka memahami apa yang dibaca?
Jika kita adalah bangsa yang masih menyembah pada standar ‘yang penting mau membaca’, berarti syukur-syukurlah pencapaian yang sungguh mengenaskan itu. Kemajuan peradaban hari ini, sayangnya, akan sulit sekali dipikul oleh orang-orang yang bahkan masih tidak tahu cara menggendong anak dan induk kalimat.
Memang tidak semua orang memiliki akses terhadap bahan bacaan yang memadai, apalagi mau menganggap bahwa membaca adalah kebutuhan yang penting karena permasalahan hidup tidak serta-merta akan tuntas dengan membaca tiga jilid Das Kapital-nya Karl Marx.
Kita seharusnya sudah bisa memperdebatkan hal lain yang lebih penting daripada persoalan minat dan kemampuan membaca ini seandainya pemahaman kita terkait kemampuan membaca tidak sekadar kejuaraan siapa yang paling jago merangkai huruf sampai menjadi kalimat.
Pantas saja kita tertinggal, kemampuan membaca kita saja masih literal — sedikit lebih baik atau bahkan sama saja dibandingkan bocah-bocah SD.
Karena itu, tanpa menyepelekan perdebatan tentang mana yang lebih penting antara minat baca atau kemampuan membaca, mengapa kita tidak mempersoalkan saja bagaimana membuat pembaca memahami apa yang dibaca?
Kemampuan memahami bacaan yang tidak sebatas pada membunyikan huruf kemudian merangkainya menjadi kata dan kalimat membutuhkan kemampuan lain (yang tidak kalah rumit) yaitu critical thinking atau berpikir kritis.
Membaca, selama ini, hanya berpatokan pada pemahaman tekstual, alih-alih mencoba untuk memahami teks secara kontekstual. Kata dan kalimat tidak mampu membaca dan mengartikan dirinya sendiri. Persepsi dan perspektif pembaca menjadi sangat vital. Karenanya, memahami konteks dan memahami substansi bacaan menjadi penting.
Kemampuan atau minimal kemauan untuk mengarah kepada berpikir kritis itulah yang sering kali alpa pada kebanyakan pembaca dalam menyikapi bacaan.
Untuk meningkatkan minat baca saja kita masih ngos-ngosan selama puluhan tahun, tidak terbayangkan betapa rumitnya menyadarkan orang-orang untuk mau berpikir kritis.
Minat dan kemampuan membaca adalah dua tali yang saling tarik menarik. Karenanya, sedari awal tulisan ini tidak mengajak untuk memperdebatkan mana yang lebih penting di antara keduanya. Berangkat dari asumsi bahwa persepsi membaca kita masih literal, maka bagaimana meningkatkan pemahaman terkait bacaan tidak kalah mendesak untuk dipikirkan kembali.
Bagaimana pun, situasi politik masa lalu turut memberi andil besar terhadap persoalan yang kusut ini. Pemberedelan terhadap bahan bacaan (terutama bacaan berhaluan kiri) turut mempengaruhi tingkat akses masyarakat terhadap sumber bacaan yang kemudian menurunkan minat dan kemampuan membacanya.
Belum lagi represi terhadap orang-orang kritis dengan tuduhan subversif turut pula mendorong bangsa kita kepada jurang (maaf) kebodohan.
Namun, menyumpah-nyumpahi masa lalu tanpa mau belajar darinya adalah kebodohan kita yang lainnya. (Lagi-lagi) sebuah tabiat yang turun-temurun.
Terjebak dalam kubangan persoalan mendasar terkait minat dan kemampuan membaca selama berpuluh-puluh tahun ketika peradaban dunia sudah bergerak maju begitu jauh memang sebuah cobaan besar. Ibaratnya, ‘sudah jatuh, tertimpa ironi’.
Atau jangan-jangan kemampuan memahami bacaan dengan berpikir kritis memang saat ini belum merupakan sesuatu yang penting? Jangan-jangan perdebatan ini sia-sia?
Mau dikata apa. Membangun perpustakaan tiga lantai pun belum tentu bisa membuat minat dan kemampuan membaca orang-orang naik bahkan satu jengkal saja, apalagi muluk-muluk mengharapkan sikap kritis terhadap bacaan.
Ini jelas bukan tentang siapa yang salah, bahkan bukan persoalan bagaimana, melainkan mengapa kita tidak kunjung sadar.
Kita mungkin muak pada normatifitas. Akan tetapi, mau tidak mau, memberikan akses seluas-luasnya terhadap bahan bacaan terutama buku memang penting, dan itu adalah kewajiban negara untuk memberikan jaminannya. Itu pun kalau kita masih mau berharap pada negara.
Namun, untuk sebuah negara di mana persoalan membaca bukan sesuatu yang amat darurat untuk dicarikan solusinya dibandingkan dengan persoalan mengisi perut, harus bagaimana lagi, memang kita tidak perlu banyak-banyak berharap terkait persoalan membaca. Lebih baik kita bersulang atas kebobrokan ini.
“Everything we hear is an opinion, not a fact. Everything we see is a perspective, not the truth.” — Marcus Aurelius Antoninus